Beranda | Artikel
Pedoman Dalam Menghadapi Orang Kafir
Jumat, 3 Juni 2005

PEDOMAN DALAM MENGHADAPI ORANG-ORANG KAFIR

Oleh
Syaikh Shalih bin Ghanim As-Sadlan

Pertanyaan.
Syaikh Shalih bin Ghanim As-Sadlan ditanya : Di antara perkara yang perlu diperhatikan juga adalah penggunaan kekerasan dan tindak anarki melawan kaum kafir yang tinggal di tengah-tengah kaum muslimin dan menekan para pelaku maksiat dan orang fasik.

Jawaban.
Menurut saya perbuatan seperti itu tidak layak dilakukan kecuali oleh orang-orang yang mengatasnamakan Islam. Mereka hanya mengambil secuil ajaran Islam dan meninggalkan sebagian besarnya. Mereka belum mengerti hakikat Dienul Islam sebenarnya.

Tindakan mereka itu jelas salah. Apa dosa orang-orang yang telah mendapat jaminan keamanan itu sehingga diperlakukan secara aniaya ? Apakah tidak ada balasan lain bagi pelaku maksiat kecuali dipukul dan dihina ? Ataukah kita perlakukan dengan santun. Sesungguhnya Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat penyayang kepada umatnya. beliau sangat santun kepada orang yang bersalah.

Ketika seorang lelaki buang air kecil di masjid dan para sahabat bangkit menyerbunya, beliau justru berkata : “Biarkanlah dia, janganlah sakiti dia hingga ia menyelesaikan hajatnya”. Kemudian beliau memerintahkan agar menyiram se-ember air untuk membersihkan kotorannya. Lalu beliau memanggilnya dan mengajarkannya dengan lembut etika-etika Islam. Beliau jelaskan kepadanya bahwa masjid tidak boleh digunakan untuk hal semacam itu. Lelaki itupun segera mengambil air wudhu’, lalu mengerjakan shalat dua rakaat lalu berdo’a : “Ya Allah, curahkanlah rahmatMu bagiku dan bagi Muhammad dan janganlah kau curahkan kepada selain kami berdua”.

Demikian pula ketika seorang pemuda datang menemui beliau meminta izin berbuat zina, maka bagaimanakah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membimbingnya ? Dan bagaimanakah hasilnya ?

Janganlah jadikan pelaku maksiat laksana mangsa tempat kita menumpahkan kemaraham di dalam dada! Hal itu sangat keliru. Tidaklah dibolehkan melakukan tindakan aniaya terhadap orang-orang kafir yang mendapat jaminan keamanan. Mereka datang ke negeri Islam secara damai meskipun mereka kafir dan meskipun mereka melakukan perkara-perkara yang bertentangan dengan syariat. Kita berkewajiban meminta agar mereka tidak melakukannya terang-terangan. Adapun melakukan tindak aniaya terhadap mereka, jelas hal itu merupakan perbuatan bodoh dan jahil. Perbuatan yang dilakukan karena tidak mengerti syariat Islam dan diterapkan tidak sebagaimana yang diinginkan Allah.

Pertanyaan.
Syaikh Shalih bin Ghanim As-Sadlan ditanya : Ada yang beranggapan bahwa salah satu tuntutan syariat adalah menekan dan mengintimidasi kaum kafir (Nasrani dan Yahudi) di tempat ibadah-ibadah mereka. Mereka berdalil dengan sebuah riwayat dari Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu, disebutkan di dalamnya perintah mendesak orang-orang kafir ke tepi jalan jika kaum muslimin berpapasan dengan mereka.

Jawaban.
Menyempitkan kaum kafir di jalan-jalan bukan berarti menyempitkan mereka dengan tindakan yang membahayakan mereka. Apakah maksud riwayat itu jika kita berpapasan dengan orang kafir yang mengendarai kendaraan lantas kita desak ia hingga kendaraannya naik ke trotoar, atau keluar dari ruas jalan atau hingga ia menabrak sesuatu?

Anggapan dan ucapan seperti itu jelas keliru ! Pemahaman seperti itu sangat picik dan salah !

Maksudnya ialah tidak memberikan jalan bagi mereka dalam rangka memuliakan dan menghormati mereka. Karena hal itu bisa menjadi bentuk penghormatan bagi agama mereka dan menambah kekuatan mereka, hal itu jelas dilarang. itulah maksud riwayat di atas. Bukan maksudnya kita mendesak mereka ke pinggir jalan, akan tetapi teruslah kamu berjalan di jalan yang kamu lalui dan jangalah kamu pesilahkan mereka lewat terlebih dahulu karena menghormati dan memuliakan mereka.

Berkaitan dengan tempat-tempat peribadatan mereka, tentunya persoalan ini berbeda menurut kondisi satu negeri. Negeri yang tidak terdapat didalamnya kaum Nasrani dan Yahudi dan bukan pula penduduk asli, maka tidaklah diperkenankan membangun saran peribadatan mereka di situ ! Jika mereka mendirikannya di rumah mereka sendiri dan tidak tampak tanda-tanda rumah ibadah padanya, maka kaum muslimin tidak boleh memata-matai mereka di rumah-rumah atau tempat mereka berkumpul pada hari raya mereka. Mereka tidak diperkenankan menampakkannya terang-terangan.

Inilah yang dipraktekkan di Kerajaan Saudi Arabia dimana tidak terdapat gereja-gereja dan tidak ada agama yang lain selain Islam. Adapun negeri yang mana kaum Nasrani dan Yahudi terhitung bagian dari penduduknya, maka kaum muslimin tidak boleh mendatangi tempat-tempat ibadah mereka untuk menekan mereka. Cara seperti itu bertentangan dengan syariat. Namun hendaknya kita mendakwahi mereka kepada Dienul Islam dengan cara yang terbaik. Menjelaskan kepada mereka keindahan dan kesempurnaan Dienul Islam, rahmat dan kekuasannya. Itulah yang seharusnya kita lakukan.

BIOGRAFI SYAIKH SHALIH BIN GHANIM AS-SADLAN

  • Beliau bernama Abu Ghanim Shalih bin Ghanim As-Sadlan.
  • Dilahirkan pada tahun 1362 H di kota Buraidah Qashim.
  • Beliau memulai menuntut ilmu dengan menghafal Al-Qur’an di bawah bimbingan ayahanda beliau yang terhitung sebagai guru pertama beliau. Beliau belajar ilmu aqidah, faraidh, hadits dan nahwu di bawah bimbingan ayahanda beliau tersebut. Kemudian beliau masuk Madrasah Tahfizhul Qur’an di Riyadh.
  • Kemudian beliau diterima di Ma’had Ilmiyah Mutawassitah lalu meneruskannya hingga tingkatan Tsanawiyah di Universitas Muhammad bin Su’ud Riyadh, beliau merampungkan studi pada tahun 1381 H.
  • Pada tahun 1386 H beliau berhasil meraih gelar Lc (S1) Fakultas Syariat Universitas Islam Imam Muhammad bin Su’ud. Pada tahun itu juga beliau mulai diangkat sebagai staff pengajar di Departemen Pendidikan. Kemudian pada tahun 1391 beliau berhasil meraih gelar Master dalam bidang Fiqih Kontemporer. Tesis yang beliau tulis berjudul Syuruth fin Nikah.
  • Pada tahun 1395 beliau ditunjuk menjadi salah satu pemateri di Fakultas Syariat. Akhirnya beliau berhasil meraih gelar Doktor di bidang Fiqh Kontemporer dari Ma’had ‘Ali Lil Qadha’ Riyadh pada tahun 1403 H. Tesis yang beliau tulis berjudul An-Niyyah wa Atsaruha fil Ahkamisy Syar’iyyah.
  • Sejak saat itu beliau menjadi asisten guru besar, lalu menjadi guru besar kemudian naik menjadi guru besar jurusan Fiqih sampai sekarang.

Beliau banyak menimba faidah dari beberapa alim ulama. Di antara guru beliau yang terkenal adalah:

  1. Ayahanda beliau Syaikh Ghanim As-Sadlan. Beliau menghafal Al-Qur’an dan beberapa disiplin ilmu lainnya di bawah bimbingannya.
  2. Syaikh Muhammad bin Ibrahim Ali Syaikh. beliau belajar ilmu aqidah, hadits dan fiqih di bawah bimbingannya. Beliau banyak sekali menimba faidah ilmu dari Syaikh Muhammad hingga beliau berkata: “Di samping keilmuannya yang kuat dan mengagumkan, beliau (Syaikh Muhammad) juga memiliki metode tarbiyah yang handal. Inilah sebabnya mayoritas ulama negeri banyak mengambil faidah dari beliau. Dan banyak ulama-ulama yang lahir dari polesan tangan beliau rahimahullah rahmatan wasi’ah.”
  3. Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz. Beliau mendalami ilmu aqidah, fiqih di bawah bimbingannya. Beliau biasa menghadiri majlis-majlis ilmu Syaikh Ibnu Baz di Ma’had ‘Ali lil Qadha’.
  4. Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah. Beliau banyak menimba faidah ilmu ushul fiqh dan tafsir darinya.
  5. Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi. Beliau mempelajari ilmu tafsir, hadits dan ushul darinya. Beliau sangat terkesan dengan metodeloginya dalam mengajar. Dimana materi ilmiyah yang disampaikan Syaikh Abdurrazzaq tidak monoton, sistematis dan terarah, disajikan dengan metode yang menarik.
  6. Syaikh Manna’ Al-Qaththan. Beliau banyak menimba faidah darinya sewaktu beliau belajar di bangku universitas. Beliau belajar ilmu tafsir dan ushul di bawah bimbingannya. Syaikh Manna’ juga memiliki metodelogi yang menarik dan mengesankan dalam mengajar.
  7. Syaikh Abdul Aziz bin Muhammad bin Dawud, Syaikh Abdul Aziz Zahim, Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Syaikh Muhammad Nashir Ath-Thureim, Syaikh Abdullah bin Jibrin, Syaikh Muhammad bin Abdurrahman bin Qasim dan masih banyak yang lainnya.

Karya-karya ilmiyah beliau:
Ada sekitar dua puluh buku yang rata-rata sudah dicetak hasil karya ilmiyah beliau, di antaranya:

  1. At-Taubah Ilallah.
  2. An-Niyyah wa Atsaruha fil Ahkamisy Syar’iyyah.
  3. Al-Idhah fi Syuruthin Nikah.
  4. Shalatul Jama’ah wa Ahkamuha wa Maa Yaqa’u fiiha min Bida’.
  5. Wujubu Tathbiq Syariatil Islam.
  6. Zakatul Ashum wa Sanadat wa Awraqil Maliyah.
  7. Al-Hukmu bi Qhairi Ma Anzalallahu Bawa’itsuhu wa Asbabuhu wa Ahkamuhu.
  8. Ususul Hukmi fisy Syari’ah Islamiyyah.
  9. An-Nusuz, Asbabuhu, wa Thuruqu ‘Ilajihi fidh Dhau’il Kitab was Sunnah.
  10. Dzikrun wa Tadzkir.
  11. Al-Masjid wa Dauruhu fit Tarbiyyah wat Taujih.
  12.  Al-Ansyithah Ad-Da’awiyah fil Mamlakah wa Atsaruha.
  13. Dan berbagai pembahasan-pembahasan dan makalah-makalah lainnya.

Beliau juga sering mengikuti berbagai seminar-seminar Islam internasional di dalam dan di luar negeri.

Beliau juga turut berperan aktif dalam berbagai amal-amal islami di samping tugas beliau sebagai dosen di universitas.

Beliau berperan sebagai konsultan (penasehat) untuk beberapa lembaga dan instansi di dalam dan luar negeri.

[Disalin dari kitab Muraja’att fi Fiqhil Waqi’ As-Siyasi wal Fikri ‘ala Dhauil Kitabi wa Sunnah, edisi Indonesia Koreksi Total Masalah Politik & Pemikiran Dalam Perspektif Al-Qur’an & As-Sunnah, Penulis Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Syaikh Shalih bin Ghanim As-Sadlan, Penyusun Dr. Abdullah bin Muhammad Ar-Rifai. Penerbit Darul Haq – Jakarta, Penerjemah Abu Ihsan Al-Atsari]


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/1447-pedoman-dalam-menghadapi-orang-kafir.html